Abdullah bin Salam dan Ka’ab bin Al-Ahbar: Penyebab Hilangnya Ilmu dari Hati Ulama

  • TGH. Hardiyatullah, M.Pd
  • Disukai 1
  • Dibaca 534 Kali
Pengajian kitab Mukasyafatul Qulub di masjid Tanjung Gunung Gerung utara

Abdullah bin Salam dan Ka’ab bin Al-Ahbar: Penyebab Hilangnya Ilmu dari Hati Ulama.

وقال عبدالله ابن سلام لكعب ما يذهب العلوم من قلوب العلماء بعد تذوقها وعقلوها قال الطمع وشره النفسي وطلب الحوائج.

Kisah dialog antara Abdullah bin Salam dan Ka’ab bin Al-Ahbar ini menyiratkan nasihat yang mendalam bagi para pencari ilmu, terutama para ulama. Abdullah bin Salam, seorang sahabat Nabi yang dulunya seorang Yahudi sebelum masuk Islam, bertanya kepada Ka’ab, seorang mantan tokoh Yahudi yang juga memeluk Islam, tentang faktor yang bisa menyebabkan hilangnya ilmu dari hati para ulama setelah mereka menghapal dan memahami ilmu tersebut. Ka’ab menjawab dengan singkat namun padat: "Tamak, rakus, dan mencari nafkah untuk kebutuhan hidup."

Keterangan dari dialog ini memberikan kita pemahaman mendalam bahwa sifat-sifat duniawi seperti ketamakan dan kerakusan terhadap harta dan kebutuhan materi bisa mengikis esensi ilmu yang dimiliki seseorang, bahkan ulama. Ini bukan hanya mengacu pada ilmu hafalan atau akademis, tetapi juga hikmah dan keberkahan ilmu yang bisa memberikan pengaruh positif pada diri sendiri dan orang lain.

1. Tamak dan Rakus

Tamak dan rakus terhadap dunia sering kali mengarahkan seseorang pada perbuatan yang bertentangan dengan prinsip keilmuan dan keikhlasan dalam menuntut ilmu. Ketamakan ini menimbulkan kesenangan berlebihan terhadap dunia, yang pada gilirannya dapat menyebabkan lalai dalam mengamalkan ilmu. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ»

"Dua ekor serigala yang lapar, jika dilepas di tengah-tengah sekawanan kambing, tidaklah lebih merusak dari ketamakan seseorang terhadap harta dan kehormatan dalam merusak agamanya." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban)

Hadis ini menunjukkan betapa berbahayanya ketamakan terhadap harta bagi seorang muslim, apalagi bagi seorang ulama yang diharapkan menjaga ketinggian akhlaknya.

2. Mencari Nafkah untuk Kebutuhan Hidup

Meskipun mencari nafkah adalah kewajiban bagi setiap orang, jika kebutuhan dunia ini mengambil seluruh perhatian seseorang, ia bisa lalai dalam menjaga niat dan fokusnya terhadap ilmu. Dalam konteks ini, Ka’ab menjelaskan bahwa terlalu sibuk dengan urusan duniawi, meskipun itu dalam rangka mencari nafkah, dapat menyebabkan seseorang melupakan esensi ilmu yang sudah ia dapatkan. Rasulullah SAW juga mengingatkan tentang dunia sebagai ujian:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

"Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah umatku adalah harta." (HR. At-Tirmidzi)

Artinya, meskipun harta itu diperlukan, jika seseorang terlalu memfokuskan diri untuk mencari harta demi duniawi semata, ia bisa kehilangan keberkahan dan kesadaran dalam beragama, termasuk dalam menjaga ilmu yang telah dipelajari.

3. Pentingnya Menghindari Ketergantungan Berlebihan pada Dunia

Para ulama terdahulu menekankan pentingnya mengendalikan diri dari godaan dunia, termasuk dalam hal mencari nafkah. Sebab, salah satu ciri orang berilmu adalah menjaga ketulusan dan fokusnya pada akhirat. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ

"Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa kesenangan dunia bersifat sementara dan tidak seharusnya menjadi tujuan utama, terutama bagi ulama yang diamanahkan untuk menjaga ilmu dan mengamalkannya.