Kekayaan Sejati adalah Kekayaan Jiwa: Sebuah Refleksi Spiritual

  • TGH. Hardiyatullah, M.Pd
  • Disukai 0
  • Dibaca 607 Kali
Kajian kitab Mukasyafatul qulub di masjid dusun sedayu kuripan

Kekayaan Sejati adalah Kekayaan Jiwa: Sebuah Refleksi Spiritual

Dalam kehidupan yang serba materialistis ini, banyak orang sering mengukur kesuksesan dan kebahagiaan dari seberapa banyak harta benda yang dimiliki. Namun, dalam pandangan Islam, kekayaan sejati bukanlah tentang berlimpahnya materi, melainkan kedamaian dan kepuasan yang dirasakan dalam hati. Allah swt berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا

وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

"Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 9-10)

Ayat ini menjelaskan bahwa kebahagiaan dan keberuntungan sejati datang dari kesucian jiwa, bukan dari limpahan materi. Mereka yang menyucikan jiwa dengan ibadah, rasa syukur, dan keikhlasan akan merasakan kebahagiaan dan keberuntungan yang hakiki.

Rasulullah ﷺ menegaskan hal ini dalam sebuah hadis yang sangat terkenal:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Artinya: “Bukanlah kekayaan itu diukur dari banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (hati).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan dan kekayaan sejati tidak bergantung pada banyaknya harta benda atau materi duniawi, tetapi pada kedalaman jiwa yang merasakan cukup dengan apa yang dimiliki. Orang yang memiliki ghina an-nafs atau "kekayaan jiwa" akan merasa cukup dan bahagia, meskipun secara materi tidak berlebihan.

Kekayaan Hati Lebih Berharga daripada Harta

Dalam Islam, harta benda hanya dipandang sebagai sarana, bukan tujuan hidup. Rasulullah ﷺ bahkan memperingatkan umatnya tentang bahaya terjebak dalam kecintaan berlebihan terhadap dunia. Harta bisa datang dan pergi, tetapi kekayaan hati dan jiwa akan selalu mendampingi seseorang di setiap fase kehidupannya. Orang yang hatinya kaya akan selalu merasa bersyukur dan ridha dengan ketentuan Allah, baik ketika diberikan banyak rezeki maupun ketika diuji dengan kekurangan.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

"Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Al-Hadid: 20)

Contoh dalam Kehidupan Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam menggambarkan konsep kekayaan hati. Meskipun beliau adalah pemimpin yang agung, beliau menjalani hidup sederhana. Rumah beliau tidak dihiasi dengan kemewahan, dan pakaian beliau sangat sederhana. Meskipun begitu, beliau adalah manusia yang paling bahagia dan damai karena kekayaan jiwa yang beliau miliki. Rasulullah ﷺ senantiasa bersyukur dalam setiap keadaan dan tidak pernah terikat oleh keinginan duniawi.

Dari ajaran Islam ini, kita belajar bahwa kekayaan jiwa adalah aset yang paling berharga. Orang yang memiliki hati yang tenang, penuh syukur, dan ridha kepada Allah akan selalu merasa cukup, meskipun harta bendanya terbatas. Sebaliknya, seseorang yang selalu mengejar harta tanpa henti tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sejati, dan tak akan pernah merasa puas dari apa yang di miliki. 

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّى التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Artinya: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah penuh dengan emas, niscaya dia akan menginginkan lembah ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi mulutnya kecuali tanah (kematian). Dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (HR. Bukhari dan Muslim)