Menjadi Tamu Allah: Nilai dan Tradisi Ibadah Haji Masyarakat Lombok

Menjadi Tamu Allah: Nilai dan Tradisi Ibadah Haji Masyarakat Lombok
Ibadah Haji merupakan kewajiban individu (fardhu ‘ain) bagi umat Islam, namun hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan—baik secara fisik, finansial, maupun kesiapan mental. Bagi masyarakat Muslim di Pulau Lombok, ibadah ini dipandang sebagai puncak pengabdian kepada Allah SWT. Pelaksanaannya pun terikat oleh syariat Islam yang menetapkan tata cara, waktu, dan tempat yang khusus.
Karena itu, ibadah haji diperlakukan dengan penuh penghormatan. Calon jamaah biasanya telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Mengingat adanya sistem kuota keberangkatan, maka perencanaan, khususnya dalam hal pembiayaan, sering kali dimulai sejak belasan tahun sebelum keberangkatan.
Masyarakat Lombok, khususnya di wilayah Lombok Barat, memiliki tradisi persiapan yang kuat dan kaya nilai. Persiapan ini tidak hanya bersifat pribadi—seperti menabung biaya dan melatih fisik lewat manasik haji—tetapi juga sosial, melalui ritual ziarahan. Dalam tradisi ini, rumah CJH (Calon Jamaah Haji) dibuka untuk dikunjungi masyarakat, diawali dengan pembukaan ziarahan yang diiringi dengan doa dan pemberian restu.
Ziarahan bukan hanya ajang silaturrahim, tetapi juga sarana saling memaafkan. Bagi masyarakat Suku Sasak, keberangkatan haji bagaikan pergi ke medan perang—penuh risiko, tantangan, dan ujian. Dalam sejarahnya, ketika transportasi masih mengandalkan jalur laut, keberangkatan ke tanah suci disebut “belayar”, menandakan perjalanan panjang dan penuh kemungkinan, termasuk kematian. Maka, prosesi ziarahan menjadi media spiritual untuk saling mengikhlaskan dan menguatkan niat.
Selama masa ziarahan, warga yang hadir juga memberi “selawat” berupa dukungan materi, tanpa melihat latar belakang ekonomi CJH. Pada sore atau malam hari, CJH mengadakan “selakaran”—yakni dzikir dan shalawat berjamaah—yang menjadi bentuk iringan spiritual masyarakat untuk para jamaah.
Semua ini menunjukkan betapa agungnya posisi ibadah haji di tengah masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu ‘Athoillah dalam kitab Al-Hikam:
إذا أَرَدْتَ أنْ تَعْرِفَ قَدْرَكَ عِنْدَهُ فانْظُرْ في ما يُقيمَكَ
(Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka lihatlah di mana Allah menempatkanmu.)
Menjadi tamu Allah adalah panggilan mulia. Kuota haji Indonesia tahun 2025 diperkirakan sebanyak 221.000 dari lebih 240 juta penduduk Muslim. Maka siapa pun yang terpilih di antara jumlah besar itu, sesungguhnya sedang mendapatkan kehormatan yang luar biasa. Karena itu Rasulullah SAW menyebutkan bahwa balasan haji mabrur adalah surga:
روى البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (العمرة إلى العمرة كفارة ما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة
(Haji yang mabrur, tiada balasan yang pantas baginya kecuali surga).
Namun, bagaimana caranya meraih haji yang mabrur?
1. Memahami Hakikat Haji
Secara bahasa, “haji” berarti al-qashdu (tujuan) dan az-ziyarah (kunjungan). Artinya, niat dalam berhaji harus jelas, yaitu semata-mata mengharap ridha Allah, bukan karena status atau kebanggaan sosial.
2. Menuntut Ilmu Tentang Haji
Menunaikan haji tanpa ilmu bisa berujung sia-sia. Karena itu, calon jamaah perlu memahami:
Rukun Haji: Niat ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan mencukur rambut (tahallul).
Wajib Haji: Niat dari miqat, mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah, serta tawaf wada’.
Sunnah Haji: Seperti membaca talbiyah, memperbanyak doa, dan shalat sunnah ketika masuk Masjidil Haram.
Larangan Ihram: Termasuk memakai wewangian, memotong kuku atau rambut, berburu, dan berhubungan suami-istri.
3. Menjaga Nilai-Nilai Haji Setelah Pulang
Haji bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari perubahan diri. Karena itu, masyarakat Lombok memanggil jamaah yang telah berhaji dengan sebutan “Haji” sebagai pengingat bahwa ia telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi tamu Allah dan meraih balasan surga. Maka sebutan ini bukan simbol status, tetapi tanggung jawab untuk menjaga kemuliaan akhlak dan amal.
Penutup
Haji adalah perjalanan spiritual yang agung. Ia tidak hanya mengubah status, tetapi juga membawa nilai-nilai perubahan dalam pribadi dan masyarakat. Semoga setiap jamaah yang berangkat menjadi haji mabrur, dan masyarakat yang mengiringinya juga mendapat berkah dari semangat pengabdian kepada Allah SWT.