Tangisan yang Tak Berhenti: Pelajaran dari Kisah Sebuah Batu

Kitab mukasyafatul qulub hal. 155
روي أنه مر بعض الأنبياء بحجر صغير يخرج منه ماء كثير. فتعجب منه فأنطقه الله تعالى فقال منذ سمعت قوله تعالى وقودها الناس والحجارة. فأنا أبكي من خوفه فسأل الله له أن يجيره من النار فأجاره ثم رآه بعد مدة على مثل ذلك فقال لم تبك الآن فقال ذاك بكاء الخوف وهذا بكاء الشكر والسرور وقلب العبد كالهجارة أو أشد قسوة ولا تزول قسواته إلى البكاء في حال الخوف والشكر جميعا.
وروي انه قال ينادي يوم القيامة ليقم الحمادون فتكوم زمرة فينصب لهم لواء ويدخلون الجنة وقيل من الحمادون قال الذين يشكرون الله تعالى على السراء والضراء وقال السلام الحمد رداء الرحمن وأوحى الله تعالى إلى أيوب عليه السلام. أني رضيت بالشكر مكافأة من أوليائي في كلام طويل وأوضح الله تعالى إليه أيضا في صفة الصابرين ان دراهم دار السلام إذا دخلوها ألهمتهم الشكر وهو خير الكلام وعند الشكر أستزيدهم وبالنظر إلى أزيدهم ولما نزل في الكنوز ما نزل قال عمر رضي الله عنه أي المال تتخذ فقال عليه السلام ليتخذ أحدكم لسانا ذاكرا وقلبا شاكرا فأمر باقتناء القلب الشاكر بدلا عن المال وقال ابن مسعود الشكر ونصف الإيمان
Dalam kehidupan, kita sering mendengar bahwa tangisan adalah bentuk ekspresi emosi manusia yang alami, baik dalam keadaan sedih maupun gembira. Namun, dalam ajaran Islam, tangisan juga memiliki makna yang lebih dalam. Ia adalah sarana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah, baik melalui rasa takut akan azab-Nya maupun rasa syukur atas nikmat yang diberikan. Kisah seorang nabi yang melewati sebuah batu kecil yang mengeluarkan air dari tangisannya menjadi pengingat bagi kita akan pentingnya tangisan dalam kehidupan seorang mukmin.
Kisah Batu yang Menangis
Diriwayatkan bahwa seorang nabi, dalam perjalanan dakwahnya, melihat sebuah batu kecil yang terus menerus mengeluarkan air. Melihat keanehan tersebut, nabi merasa takjub dan penasaran tentang apa yang menyebabkan batu tersebut menangis. Allah kemudian membuat batu itu berbicara, dan batu itu berkata, "Sejak aku mendengar firman Allah yang mengatakan, 'Bahan bakarnya adalah manusia dan batu' (QS. At-Tahrim: 6), aku menangis karena takut kepada-Nya." Batu tersebut menangis dengan rasa takut, membayangkan azab yang bisa menimpanya di neraka.
Nabi tersebut kemudian memohon kepada Allah untuk menyelamatkan batu tersebut dari api neraka. Doanya dikabulkan, dan Allah menjamin keselamatan batu tersebut dari azab-Nya. Namun, setelah beberapa waktu berlalu, nabi itu melihat batu tersebut masih saja menangis. Ia pun bertanya, "Mengapa kamu masih menangis sekarang, padahal kamu telah diselamatkan dari api neraka?" Batu itu menjawab, "Tangisanku sebelumnya adalah tangisan ketakutan. Namun, sekarang ini adalah tangisan syukur dan kegembiraan." Batu tersebut kini menangis bukan lagi karena takut, tetapi sebagai bentuk syukur atas rahmat dan keselamatan yang telah diberikan Allah.
Pelajaran dari Tangisan Batu
Kisah ini memberikan kita pelajaran berharga tentang bagaimana hati seorang mukmin seharusnya. Hati manusia sering kali keras, bahkan digambarkan seperti batu atau bahkan lebih keras dari itu. Namun, kekerasan hati ini bisa luluh melalui tangisan yang tulus, baik karena takut kepada Allah maupun karena rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan.
1. Tangisan Karena Rasa Takut kepada Allah
Tangisan yang timbul dari rasa takut kepada Allah adalah cermin kesadaran seorang hamba akan kekuasaan dan keagungan-Nya. Kesadaran ini membawa hamba pada pengakuan atas dosa-dosanya, dan dengan ketakutan ini, ia memohon ampun dan berharap dijauhkan dari azab-Nya. Tangisan jenis ini adalah tangisan yang menyucikan, yang mengikis kekerasan hati dan membuka jalan menuju kedekatan dengan Allah.
2. Tangisan Karena Rasa Syukur
Rasa syukur adalah inti dari ibadah seorang hamba kepada Tuhannya. Ketika kita mengingat segala nikmat yang telah diberikan, kita diingatkan betapa lemahnya kita sebagai makhluk dan betapa besarnya rahmat Allah. Tangisan syukur adalah ekspresi kedalaman rasa terima kasih seorang hamba atas nikmat-nikmat ini. Syukur yang sejati bukan hanya terucap dalam kata-kata, tetapi juga tercermin dalam amalan dan bahkan hingga meneteskan air mata.
Menjadikan Hati Lembut dengan Tangisan
Kisah batu yang menangis karena takut dan kemudian menangis lagi karena syukur memberi pelajaran bagi kita agar menjadikan tangisan sebagai sarana pembersihan hati. Hati yang keras dan jauh dari Allah akan sulit untuk tersentuh oleh ajaran kebaikan dan nasehat. Namun, dengan tangisan yang ikhlas, hati bisa melunak dan merasakan kehadiran-Nya lebih dekat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengambil waktu untuk merenungi dosa-dosa dan nikmat yang telah Allah berikan. Saat seorang mukmin meneteskan air mata dalam dzikir, doa, atau sujudnya, ia mengungkapkan perasaan terdalam yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Inilah bentuk kedekatan dengan Allah yang membawa ketenangan dan kedamaian jiwa.
Mengasah Hati untuk Selalu Bersyukur
Di antara pelajaran lain dari kisah ini adalah pentingnya melatih hati untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan, baik di saat senang maupun susah. Dalam Islam, orang-orang yang selalu memuji Allah, yang dikenal sebagai hamadun, akan mendapatkan kedudukan istimewa di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang tetap mengingat Allah dan mengucapkan syukur dalam kondisi apapun. Rasulullah SAW bersabda bahwa "Alhamdulillah adalah pakaian Allah yang Maha Penyayang."
Sebagai seorang mukmin, bersyukur adalah cara kita mengingat bahwa segala nikmat berasal dari Allah, dan segala ujian yang datang pun mengandung hikmah yang mendekatkan kita kepada-Nya. Dengan rasa syukur, kita menjadi lebih ridha terhadap segala ketentuan-Nya dan lebih yakin akan kebesaran-Nya.