“Syukur yang Hakiki, Pujian yang Layak: Renungan atas Nikmat yang Terus Mengalir”

Berkata TGH. Ridwanullah di dalam kitab Nazhm Majmu' Arridwany ( bait ke-4)
إِلَىٰ زَمَانِ ٱلْآنِ شُكْرُنَا حَقِيق
كَثِيرُ حَمْدِنَا جَدِيرٌ تَحْقِيق
Sampai waktu sekarang, syukur kita adalah suatu kewajiban yang hakiki,
dan banyaknya pujian kami (kepada Allah) adalah sesuatu yang layak untuk dibuktikan.
Muqoddimah
Manusia adalah makhluk yang diberi anugerah begitu banyak oleh Allah sejak dalam kandungan, dilahirkan ke dunia, hingga menjalani kehidupan saat ini. Bait syair ini mengingatkan kita bahwa syukur bukan sekadar ucapan, tetapi kewajiban yang harus dibuktikan dalam tindakan. Begitu pula dengan pujian kepada Allah, tidak cukup hanya dengan lisan, tetapi harus menjadi amal nyata dalam kehidupan.
Syukur Adalah Kewajiban Hakiki
Dalil Al-Qur’an:
"فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ"
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Dalam tafsirnya, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini adalah seruan Allah kepada manusia agar selalu mensyukuri nikmat-Nya, karena syukur merupakan tanda keimanan dan bentuk ibadah yang tinggi.
Syukur Tidak Cukup dengan Lisan
Syair di atas menyebut “شكرنا حقيق” — syukur kita harus benar dan hakiki, bukan sekadar ucapan. Ini senada dengan sabda Nabi:
قَيِّدُوا نِعَمَ اللهِ بِالشُّكْرِ
“Ikatlah nikmat Allah dengan bersyukur.” (HR. Thabrani)
Para ulama seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan Imam Nawawi menjelaskan bahwa syukur kepada Allah harus diwujudkan dalam tiga bentuk: dengan hati, lisan, dan anggota tubuh. Syukur dengan hati adalah dengan mengakui bahwa semua nikmat datang dari Allah semata, bukan dari usaha atau makhluk. Orang yang hatinya bersyukur akan selalu merasa cukup, tenang, dan tunduk kepada kehendak Allah, serta tidak merasa sombong atas nikmat yang dimiliki.
Syukur dengan lisan diwujudkan dengan memuji Allah, mengucapkan alhamdulillah, serta memperbanyak dzikir dan doa. Adapun syukur dengan perbuatan adalah menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan, seperti ilmu untuk mengajar, harta untuk sedekah, dan kekuatan untuk membantu sesama. Imam Al-Ghazali menyebutkan: "Bersyukur itu adalah menggunakan setiap nikmat dalam tujuan yang Allah ridhai." Maka, sempurna syukur seseorang bila hati mengakui, lisan memuji, dan anggota tubuh beramal saleh.
Pujian Banyak (كثير حمدنا) Adalah Layak di buktikan (جدير تحقيق)
Banyaknya pujian kepada Allah adalah reaksi yang wajar dan layak atas nikmat-Nya yang terus mengalir. Imam Fakhruddin Ar-Razi menyebut bahwa Alhamdulillah adalah ungkapan yang paling agung, karena mencakup pengakuan terhadap segala kesempurnaan dan kemurahan Allah.
Makna “al” dalam kata al-ḥamdu (ٱلْحَمْدُ) dalam QS. Al-Fātiḥah adalah “lil-istighrāq”, yaitu untuk mencakup seluruh jenis pujian secara sempurna dan menyeluruh. Artinya, segala bentuk pujian yang hakiki, sempurna, baik secara lahir maupun batin, hanya milik Allah. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pujian sejati kecuali yang kembali kepada-Nya, karena segala kebaikan hakikatnya berasal dari Allah.
Karena itulah, saat seseorang menanyakan kabar kita, cukup dijawab “Alhamdulillah”, yang mencakup makna syukur dan pengakuan terhadap nikmat, meskipun sedang ada sedikit sakit atau ujian. Jika Menambahkan, misalnya, “Alhamdulillah sehat tapi masih encok,” secara makna seolah mengurangi keutamaan pujian itu sendiri. Para ulama mengajarkan untuk tidak mencampur pujian dengan keluhan, karena alhamdulillah sudah mencakup kesyukuran total atas segala keadaan. Sebab, dalam setiap kondisi pasti terdapat hikmah dan rahmat Allah yang tersembunyi. Maka, cukupkan hati dengan alhamdulillah—sebab itu mencakup seluruh pujian yang patut disandarkan hanya kepada Allah.
Contoh aktualisasi syukur dalam kehidupan sehari-hari untuk beberapa kategori:
● Orang Kaya
Mensyukuri nikmat harta dengan berinfak, sedekah, membantu yang membutuhkan, dan menggunakan hartanya untuk kebaikan serta menolong umat.
● Orang Miskin
Mensyukuri nikmat yang ada dengan sabar, menjaga hati dari rasa iri, terus berusaha memperbaiki keadaan, serta menerima ketentuan Allah dengan lapang dada.
● Suami
Mensyukuri nikmat istri dengan memperlakukan dengan baik, memberikan nafkah, menjaga kehormatan dan kebahagiaannya, serta membimbing dalam kebaikan.
● Istri
Mensyukuri nikmat suami dengan taat dalam kebaikan, menjaga rumah tangga, mendidik anak, serta mendukung suami dalam kebaikan.
●Pelajar
Mensyukuri nikmat ilmu dengan rajin belajar, mengamalkan ilmu, berdoa memohon keberkahan, dan membagikan ilmu kepada orang lain.
Waspada dan Bersyukurlah
Tanyakan pada diri kita masing-masing:
- Apakah nikmat ini membuatku lebih rajin salat?
- Apakah harta ini menjadikanku lebih dermawan?
- Apakah jabatan ini mendekatkanku pada amanah dan keadilan?
Jika tidak, maka bisa jadi itu bukan nikmat... tapi istidraj yang harus diwaspadai.
Apa itu Istidraj?
Istidraj adalah proses Allah memberi nikmat dunia kepada hamba yang lalai, bukan sebagai bentuk cinta, tapi sebagai penundaan azab. Nikmat itu membuat mereka semakin jauh dari Allah, tenggelam dalam dosa, tanpa disadari. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
"Kami akan menarik mereka sedikit demi sedikit (menuju kehancuran) dari arah yang tidak mereka sadari." (QS. Al-A’raf: 182)